Pages

Kamis, 12 Juli 2012

CERPEN


ANAK EMAS MAMAKU


Pagi itu aku bersiap kesekolah. Mama sudah menyiapkan segala sesuatunya. Seperti biasa selesai sholat subuh aku membantu mama. Biar aku anak cwok tapi aku tak malu untuk itu. Meski mama dan papa meanjakan aku. Namaku Gio siswa kelas 3 SMA Nusantara Harapa Jaya. Tiap hari aku berangkat dengan sepeda kesayangan walau papa dan mama memanjakan dengan segala aktivitas rumah dan sarana tapi aku tidak menyalahgunakan itu. Aku tetap menjadikan itu sebagai Anugerah Tuhan untukku.
Aku anak kedua dari 2 bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak yang sudah kuliah di UI Jakarta semester atas. Namanya Rendy aku benar-benar pusing dengan kakaku ini. Ia begitu manja dan tidak bisa mengerjakan tugasnya dengan sendiri. Selalu pembantu yang harus menurutinya. Mama dan Papa pun sudah menasihati kakakku. Tapi itu pengaruh dari ia kecil. Sejak kecil kakakku selalu dimanjakan dengan alat dan prasarana yang lengkap. Apapun permintaan kakakku selalu dipenuhi. Ini karena kakakku mempunyai watak yang keras dan seperti anak kecil. Jadi ketika kakakku sudah dewasa sulit menghilangkan wataknya tersebut. Aku sejak kecil di Amerika dan hidup sendiri disana. Jadi aku sudah terbiasa mandiri.
Aku dan kakakku berbanding terbalik yang aku takutkan kalu sifat kakakku tidak kunjung dewasa bagaimana dia mengurus mama dan papa kalau sudah tak kuat serta masa depan dia untuk  ia untuk menikah. Tapi aku tetap yakin kalau kakakku pasati akan sadar dan bisa aku juga tidak iri kalau kakakku minta barang dari mama dan papa. Aku juga ngerti.
“Gio mama dan papa akan pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Kamu dan kak Rendy jaga rumah baik-baik ya”. Kata mama.
“Emang berapa hari ma?” Tanya Rendy
“Kurang lebih seminggu.”
“Lama banget ma ntar siapa yang ngasih aku kalau mama dan papa pergi?” uang, jajan, keadaan rumah dan menemani aku kalau mau tidur?” Rendy menjelaskan dengan manyum.
“Kan ada aku kak. Kita bisa bekerja sama. Walau pembantu pulang kampung kita bisa bekerja sama kak”. Terang Gio.
“Kamukan bukan mama”. Sambil marah dan pergi.
“Sudah kamu harus ngerti kakakmu seperti apa”
“aku tau ma. Aku yakin pasati kakak akan sadar dengan sendirinya”.
“ini semua salah mama dan papa. Mama dan papa terlalu memanjakan dia dari kecil. Karena mama takut kehilangan dia. Mama saudah pernah ceritakan alasannya sama kamu kan?”
“Aku ngerti ma ini karena penyakit leukimia kakakkan?” Mama takut kehilangan dia aku bisa ngrasa kalau rasa sayang mama dan papa kekakak begitu besar. Mama tenang saja. Mama dan papa pergi saja aku bantu dengan doa dan aku akan menjaga kakak.”
Sepeninggal mamam dan papaku aku menjalani hari-hari seperti biasa. Hingga malam aku verfikir aku akan mencoba ngobrol dengan kakak. Karena aku jarang sekali komunikasi dengan dia. Malam itu kakak duduk diluar dengan asyik bermain game di Hpnya
“Udaranya dingin kak”. Sapaku
“Ya” jawab singkat kakakku
“Ehm kak aku tau kita saudara tapi kita tidak terasa saudara. Aku juga tau kak kita dibesarkan dilingkungan berbeda. Tapi biar seperti itu aku tidak terlalu bangga kak. Aku sayang sama kakak. Tapi kenapa kakak tidak pernah sayang sama aku? Kak tak selamanya kita hidup bergantung pada mama dan papa. Suatu saat kita akan jauh dari mereka. Mungkin mereka akan meninggalkan kita selamanya disaat itulah kak kita akan sadar bahwa kita harus hidup sendiri. Mama dan papa lebih menyayangi kakak daripada aku. Oleh karena itu kakak harus bisa menunjukan kalau kakak berguna untuk mereka. Tidak tergantung kepada mereka. Jadi kakak dewasa dan mandiri.”
Kakakku terdiam lama. Tapi dia pergi meninggalkan aku sendiri aku yakin pasti kakakku bisa.
Pagi itu telfon dirumahku ebrbunyi. Aku mendpaat kabar berita kalau pesawat yang ditumpangi mama dan papa mengalami kecelakaan. Bagai tersambar petir aku langsung menuju rumah sakit. Hatiku kaget dan hancur kala melihat jenajah mama dan papa. Aku bagai lemah dan tak berdaya. Bagaimana kalau kak Rendy tau. Apapun yang terjadi aku harus terima
Jenajah mama dan papa dibawa kerumah. Kakakku tersontak kaget melihat dua jenajah itu. Setelah tau kalau itu jenajah mama dan papa kakakku tak kuasa menahan tangis dan emosi. Dia memeluk jenajah mama tanpa henti. Tapi itulah kenyataannya. Aku dan kakakku harus ditinggal pergi oleh mamam dan papa.
Bagaimana dengan kakak?
Pasagi itu aku terbangun. Aku mendengar suara adzan. Suara itu seperti aku kenal itu suara kakakku. Bagai tertarik aku menuju mushola. Dan benar kakakku mengumandangkan adzan untuk yang pertama kalinya aku hampiri dia
“kakak”
“Aku tau kesalahanku selama ini. Aku terlalu egois aku selalu meminta apapun dari mama menggantungkan pada mamam. Tapi aku sadar, setelah mereka pergi, aku sadar aku merasakan kesepian, tapi ternyata masih ada adikku yang sayang kepadaku yang menyadarkan aku. Maafkan kakak Gio kalau kakak tak pernah mengenalmu sebagai adik. Ini karena penyakit kakak. Kakak iri denganmu.”
“Kalaupun kakak tidak mempunyai penyakit, mamam lebih sayang kakak dari paa aku. Aku bisa merasakan itu kak. Dari kecil kalian dekat. Ikatan batin kalian tak bisa terpisah. Penyakit kakak pasti sembuh. Aku yakin. Aku anggak mau kehilangan kakak. Karena aku sudah kehilangan mama”.
“Kakak tetap disin. Sekarang kakak sadar kalau kakak harus menjadi lelaki sejati seperti dirimu. Agar mama dan papa tersenyum disana”.
“Mari kak kita sholat dan mendoakan mama dan papa disurga”.
Akhirnya aku dan kakakku berpelukan dan mendoakan mama dan papa disana. Mungkin ini pembelajaran dan aku juga kakakku dapat mengambil hikmahnya. Walau aku sedih karena kepergian mama dan papa tapi aku senang kakakku bisa berubah. Mungkin Tuhan memberi petunjuk melalu mama. Aku janji akan menjaga kakak. Terima kasih mama dan papap. Terima kasih Tuhan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar